PUISI 2 : MENGHARUNGI TELAGA AIR MATA MAMA
Masih kuingat derit bunyi kereta senja itu
ketika melewati kaki bukit di desa sepi
membelok dan lenyap dibawa tikungan
dan aku masih disini, berdiri terpaku
ditinggal sunyi setelah kereta itu pergi
Kukuat kan kaki melangkah
menuju pulang kerumah
yang sudah lama kutinggalkan
melewati jalan setapak yang sudah gelap
diselimuti pilu sepi menunggu
Mama,.. akhirnya aku sampai juga dihalaman rumah kita
dimana dulu aku kau gugu, kau belai dan kau cumbu
senyum dan pelukan mu terasa mambasuh tubuhku
Tak bisa kutahan, air mataku tumpah
dengan tangan gemetar, ku buka pintu,
dan deritnya seakan menyayat jantungku
pilunya menembus relung jiwaku,
denganpenuh ragu
kugapai tombol lampu
Dengan cahaya lima watt aku berdiri
ditengah rumah yang hampa dan sepi
ku pandang potomu dalam bingkai yang mulai berdebu
kuusap wajahmu dengan jiwa yang runtuh
dan hati yang luluh
kucari-cari dirimu kesemua sudut ruang
dan dengan tangan menggigil potomu masih kupegang
namun semua kosong belaka
Kehidupan berlalu tanpa bisa ditahan
kita seperti melukis gambar-gambar dari apa yang kita lakukan
Kenangan kita tidak akan pernah lupa menyimpan sebagai catatan
membukukannya sesuai waktu dan peran yang dimainkan
Mengurutkannya dalam tingkat pentingnya kejadian
yang tertanam dengan kuat dalam relung hati dan pikiran
Demi waktu-waktu yang kita lalui,
jalan yang ditempuh semakin menjauh
Seperti sebatang pohon, dari kecil membesar dan runtuh.
Atau seperti pakaian,
dari kain menjadi baju, akhirnya robek dan kumuh.
Dan poto tentang kita dari peran yang dimainkanpun
menjadi lusuh.
Sebelum datang waktunya, ketika poto - poto itu disusun rapi,
tertata dalam wadah yang tidak dapat disentuh lagi,
karena waktu-waktu yang mengendongmu telah pergi.
Potret tentang hidupmu hampir selesai.
Dan wacana yang kau lempar pun dianggap makanan basi.
Udara yang kau hirup terasa membebani diri,
Ketika itu yang tersisa hanyalah kenangan diri,
sambil membolak-balik poto dari hidup yang dilalui,
disudut sunyi, ditempat tersendiri.
Mencari lembar terakhir yang harus ditanda tangani,
untuk kepastian dan harga diri.
Poto itupun dibingkai dan dirapikan,
tersembunyi dibalik kaca transparan,
sebagai potret hidup dan kenangan.
Sebagai warisan dari seseorang yang pernah datang
memberi kehidupan dan warisan
Akhirnya, yang tersisa hanya potret baku
dari sebuah kehidupan masa lalu
untuk dilihat oleh orang lain dan anak cucu.
Didalam bingkai yang rapi dan cemburu,
di dinding yang hampa dan sendu,
potret tergantung dan terpaku,
Sebagai tanda sebuah kehidupan pernah berlalu
By Syahrial,
In my effort to show the meaning of life.
Batam, 01 Okt. 2011